TATO & KUASA PENGETAHUAN

Posted by YZN Kickass! | Posted in | Posted on 00.35



Rahung Nasution, penggila tato dan penggiat video dokumenter
“Datangnya peradaban besar adalah arus balik bagi kehidupan para penghuni Nusantara. Selama berabad mereka digusur, dikucilkan dan dianggap asing. Keprihatinan itu direkam oleh rajah pada tubuh mereka. Mentawai Tattoo Revival merekam perjalanan ini dan persinggungannya dengan praktek rajah dan perlawanan modern.”— Hilmar Farid, Sejarawan
Sebagai “bangsa taklukan”, kemudian kita melihat diri kita dengan menggunakan mata dan telinga mereka (para penakluk). Kita membaca dan menamahami segala sesuatunya dengan nama-nama (konsep-konsep) yang mereka lembagakan di negeri-negeri yang dulu mereka taklukkan melalui institusi-institusi ilmu pengetahuan sebagai sumber legitimasi, otoritas dan tehnologi politik pengetahuan. Melalui perangkat-peragkat yang mereka wariskan itulah kita memandang dan menguasai diri kita sendiri, saudara-saudara kita dengan bentuk dan cara orang Eropa menguasai kita di masa lalu.
Di bangku sekolah, kita diajarkan bagaimana bangsa Eropa “menemukan” benua Amerika. Seakan-akan benua yang dihuni oleh pribumi Amerika—yang secara sesat mereka sebut “Indian”—tersebut pernah hilang sehingga berhasil ditemukan Colombus sebagai tanah primitif yang buas—di mana penghuninya masih menyembah roh-roh yang bermukim di batu, sungai dan pepohonan dan mereka masih melakukan ritual aneh dalam bentuk-bentuk persembahan kepada dewa-dewa mereka yang kejam dan haus darah.
Alkisah, ketika para petualang Eropa singgah di kepulauan Mentawai, memang agak berbeda dengan nasib benua Amerika (dalam jumlah yang besar kaum pribuminya dibunuh). Saat itu mereka berpendapat bahwa suku yang mendiami kepuluan tersebut dihuni oleh “orang-orang liar yang ramah”. Pandangan umum kaum penakluk ini tidak mengalami perubahan hingga abad ke-20.
Ambisi Eropa untuk menguasai sumber rempah-rempah dan emas selalu disertai dengan kisah-kisah petualangan (juga bualan) menakjubkan, dalam kenyataannya sering kali berakhir naas. Dalam bukunya Mainan Bagi Roh: Kebudayaan Mentawai, Reimar Schefold mencatat: pada abad ke-17, sebuah armada V.O.C yang berlayar di perairan sebelah barat pulau Sumatera menemukan sebuah kapal yang terapung-apung di dekat sebuah pulau—yang kemudian kita kenal dengan nama Sipora—dengan seratus enam puluh orang awak yang sebagian besar mati diserang wabah penyakit dan sebagian kecil yang sekarat berhasil diselamatkan. Dari peristiwa yang naas tersebut, kemudian para petualang itu menamakan pulau itu “Goe Fortuyn” (Nasib Baik).
Beberapa tahun sebelumnya, para pelaut Belanda yang berlayar ke Hindia-Timur sempat berlabuh di pulau Pagai dan dengan seenak udhel mereka menanamainya Nassau. Sedangkan untuk pulau Siberut mereka sebut Matana (Mintanoan) yang berasal kata manteau dalam bahasa Mentawai, yang berarti “laki-laki”.
Kemudian pada abad ke-19 datanglah Raffles, seorang naturalis yang tertarik dengan budaya lokal mengutus Christie, seorang penerjemah bahasa-bahasa pribumi ke Enggano, Mentawai dan Nias. Berdasarkan dari laporan Christie, Raffles menulis: “saya semula ingin menulis buku untuk membuktikan bahwa orang Nias merupakan suku bangsa yang paling berbahagia dan paling baik di bumi ini. Namun sekarang saya dapati bahwa penduduk pulau-pulau Nassau dan Pagai ternyata lebih ramah…”
Apa yang dianggap Raffles sebagai “keramahan” tidak berlangsung lama. Pada tahun 1824 Inggris menukarkan Bengkulu, kep. Mentawai dan sekitarnya dengan Singapura kepada Belanda. Sejak dimasukkan Belanda sebagai wilayah jajahan, Mentawai berungkali didatangi ekspedisi militer untuk menghukum orang Mentawai yang menyerang para pedagang dari pulau Sumatera.
Pada tahun 1893 Belanda menempatkan pribumi Mentawai selaku pegawai pemerintah jajahan di Sipora dan ini hanya bertahan tiga tahun kerena terjadi perseteruan dengan penduduk setempat, yang berakhir dengan pengusiran perpanjangan tangan kolonial Belanda tersebut. Belanda akhirnya menemukan siasatnya yang paling jitu, yaitu dengan meminta bantuan Zending (“Rheinicsche Missionsgesellschaft”). Misi penyiaran agama Kristen mengutus August Lett ke Pagai Utara pada tahun 1901 sebagai petugas Zending yang pertama. Selama menjalankan misinya di Pagai Utara, Lett juga berpendapat seperti Raffles, bahwa orang Mentawai bersifat ramah. Tetapi orang-orang liar yang ramah ini sama sekali tidak berminat pada ajaran yang hendak disampaikan Zending. Orang Mentawai sepenuhnya berada di bawah pengaruh para sikerei (saman) yang masih menyembah “dewa-dewa” primitif dan mereka nyaris telanjang serta masih mekalukan praktek menganyau.
Karena marah pada misi Zending yang waktu itu terkenal berpandangan picik dan tidak selaras dengan kehidupan tradisional orang Mentawai, mereka berkali-kali melancarkan serangan terhadap Zending. Lett tewas dibunuh pada tahun 1909. Misi Zending tidak memperoleh dukungan dalam upaya “memperadabkan” orang Mentawai untuk menjadi penganut Prostestan.
Dari jurnal-jurnal Zending yang diteliti Reimar Schefold, ketika Perang Dunia II berkecamuk di Eropa, tercatat baru sekitar 10 % penduduk Mentawai yang berhasil dijadikan penganut agama Kristen. Dan orang pertama yang berhasil dibaptis setelah kematian Lett adalah seorang wanita. Peristiwa pembatisan itu terjadi pada tahun 1915.
Sepuluh tahun setelah Proklamasi 1945, rezim Soekarno menggalakkan proses pembentukan “karakter bangsa dan identitas nasional” melalui sebuah proyek “pemberadaban” suku-suku di Indonesia yang ketika itu, ironisnya, juga dianggap liar dan primitif. Persis seperti cara pandang kaum misionaris dan kolonial Belanda. Niat baik yang “sesat pandang” ini kemudian dituangkan melalui satu kebijakan, yakni SK No. 167/PROMOSI/1954 yang berisi perintah agar suku-suku yang masih hidup secara tradisional meninggalkan praktek-praktek “primitif” mereka dan memilih salah satu agama yang diakui oleh negara. Kemudian atas desakan petinggi-petinggi tiga agama dominan, orang Mentawai diminta untuk meninggalkan Arat Sabulungan (kepercayaan leluhur suku Mentawai).
Langkah nyata yang mesti diambil untuk menerapkan kebijakan ini adalah melokalisasikan uma-uma yang letaknya terpencar-pencar di sepanjang sungai-sungai ke dalam pedesaan model Jawa yang teratur rapi, disertai dengan dibangunnya fasilitas tempat-tempat ibadah dan sekolah-sekolah. Kemudian juga diberlakukan peraturan yang melarang kaum pria untuk berambut panjang, menanggalkan hiasan manik-manik, cawat dan pelarangan ritual meruncingkan gigi dan merajah tubuh (tato) karena hal-hal tersebut dianggap sebagai praktek-praktek budaya primitif yang mesti dibrantas.
Proses masif dari penghancuran identitas suku Mentawai berlangsung pada jaman Orde Baru pada tahun 1980an. Hal ini dilakukan dalam rangka menerapkan berlakunya Undang-undang Pemerintahan Desa yang yang dikeluarkan pemerintah tahun 1979. Gaya hidup tradisional dan seluruh struktur “pemerintahan tradisional” orang Mentawai mesti dibrengus. Fungsi Tetua Adat mesti diganti dengan struktur pemerintahan desa. Bagi mereka yang masih mempertahankan kepercayaan leluhur dan cara hidup tradisional dikenai sangsi. Tidak jarang pula terjadi kekerasan, misalnya dengan pembakaran uma dan perangkat-perangkat upacara adat. Dengan jumlah penduduk yang sangat sedikit dan cara hidup mereka yang tidak mengenal perang modern tidak bisa melakukan perlawanan yang berarti untuk menghadapi kekuatan negara.
Jumlah penduduk Mentawai yang paling besar terdapat di pulau Siberut dan mereka bermukim dalam bentuk kelompok-kelompok marga di hulu-hulu sungai. Karena wilayah mukim mereka yang cukup terisolir di hulu-hulu sungai, dan ketika kawasan-kawasan pesisir sudah didominasi para pendatang dari pulau Sumatera, gaya hidup tradisional suku Mentawai masih tersisa dan dijalankan para sikerei. Hingga kini bisa bertahan dalam jumlah yang semakin menyusut dan lambat-laun akan mengalami ‘kepunahan”.
Ketika pertama sekali berkunjung ke Mentawai pada bulan Februari 2009, kapal yang kami tumpangi berlabuh di Muara Sikabaluan. Para pendatang dari Minangkabau yang telah menetap lama di pulau Siberut terheran-heran melihat penampilan kami yang datang dari “Jawa”dengan tato di sekujur tubuh hingga di wajah kami. Menurut salah satu dari mereka, kami pantas berkumpul dengan para sikerei yang bermukim di Simatalu, di ujung utara pulau Siberut dan merupakan wilayah yang terisolir.
Pernyataannya ini berdasar pada kenyataan, bahwa hingga tahun 2009 pun, camat Sikabaluan masih memberlakukan peraturan yang melarang orang Mentawai untuk menato tubuhnya. Bahkan di Matototan, pedalaman Siberut selatan (yang kini telah menjadi desa pemukiman bentukan Orde Baru dan menjadi tempat tujuan wisata untuk “menikmati keeksotisan” kehidupan tradisional Mentawai), kami menjumpai anak-anak muda yang menyatakan bahwa tato tradisional yang terdapat disekujur tubuh para sikerei merupakan tato “setan”. Ironisnya, ketika kami melakukan kolaborasi pembuatan tato tradisional dengan sipatiti (ahli tato tradisional) dan para sikerei, anak muda tersebut meminta ditatokan motif “tengkorak” ala bajak laut, dan bahkan salah satu dari mereka ada yang ingin dibuatkan tato bermotifkan lambang salah satu partai politik Orde Baru. Kekuasaan yang telah memberengus dan menghancurkan tradisi leluhur mereka.
Kita yang mendapat pendidikan Orde Baru tentunya masih ingat bagaimana institusi pendidikan menjadi lembaga cuci-otak yang doktrin-doktrinya menyemai jimat—terutama melalui mata pelajaran wajib Agama dan Pendidikan Moral Pancasila—telah membentuk satu kesadaran bahwa kita memang berbeda dengan saudara-saudara kita yang bermukim di pedalaman. Kesadaran ini memberi legitimasi ketika Orde Baru melakukan kriminalisasi tato pada tahun 1980an. Orang-orang bertato dianggap sebagai penjahat sosial dan perlu satu shock terapi dengan membunuhi mereka.
Ketika kami memulai proyek Mentawai Tattoo Revival, kami tidak memiliki gambaran yang jelas seperti apa “kerusakan” yang dilakukan negara terhadap kehidupan tradisional orang Mentawai. Acuan yang kami dapatkan melalui beberapa buku yang diterbitkan peneliti Barat, seperti bukunya Reimar Schefold yang kami sebut di atas, disertasi Ady Rosa (dosen antropologi dari Universitas Padang) yang sering dikutip media dengan asumsinya bahwa “tato Mentawai merupakan tato tertua di dunia”, serta bahan-bahan yang kami dapatkan melalui internet tidak cukup untuk memahami relasi tato tradisi dengan kehidupan tradisional orang Mentawai yang kini hanya tersisa di pulau Siberut. Di tiga pulau besar lainnya (Pagai, Sipora dan Sikakap), tato dan kehidupan tradisional mereka sudah hilang. Ketika gaya hidup tradisional tidak lagi dipraktekkan, secara otomatis, uma (rumah adat) yang berfungsi sebagai tempat tinggal beberapa keluarga dan tempat dilakukannya berbagai ritual upacara adat juga turut hilang.
Dalam kesaksianya, Aman Lusin Sangiamang, seorang sikerei dari wilayah pesisir timur pulau Siberut terpaksa menorehkan sebuah tato salib di lengannya, di antara motif-motif tato leluhurnya. Hal ini ia lakukan agar pendeta yakin bahwa ia telah menganut agama Kristen, kemudian anak-anaknya bisa sekolah dan tidak lagi menjalani kehidupan tradisional seperti kehidupannya yang masih terikat dengan tradisi-tradisi leluhur.
Sejak tahun 2009 kami telah melakukan 5 kali kunjungan ke pulau Siberut dan telah menghasilkan dua video pendek dalam bentuk catatan perjalanan dan presentasi (dokumenter?), ratusan foto, serta puluhan sketsa motif tato tradisi. Dalam proses ke depan, kami sedang mengerjakan penulisan buku tato Mentawai dan mempersiapkan satu dokumenter panjang Titi: A Rite Of Passage, Tato Sebagai Ritus Hidup orang Mentawai.
Materi-materi serta informasi yang kami dapatkan di atas merupakan hasil kolaborasi dalam bentuk workshop dengan sipatiti dan para sikerei dari tempat-tempat yang kami kunjungi.
Setiap kunjungan ke pedalaman Siberut, kami mencoba menawarkan satu bentuk kolaborasi dengan sipatiti dan sikerei dari Matotonan, Buttui, Sakudei dan Sagulubbek untuk secara bersama-sama menyelesaikan tato beberapa sikerei yang belum selesai. Tawaran untuk melakuan kolaborasi ini kami ajukan karena yang kami di lapangan: di beberapa tempat sudah tidak terjadi lagi regenarasi sipatiti dan ritual pelantikan seorang sikere sudah jarang terjadi.
Modal nekat untuk melakukan proyek kolaborasi ini berawal dari kecintaan kami terhadap tato. Tentu saja kami mengalami berbagai kendala, terutama soal motede pendekataan di lapangan kerena kami tidak memiliki disiplin ilmu antropologi atau sejenisnya. Dari segi pendanaan, hingga saaat ini masih bergantung pada kocek pribadi. Belum lagi sulitnya medan dan sarana transportasi yang terbatas untuk mencapai pedalaman. Sebagai contoh untuk sampai di Sakkudei, kami mesti mendaki bukit, menyusuri sungai-sungai dan melewati rawa-rawa selama dua hari untuk mencapainya.
Apa yang kami temukan selama melakukan koloborasi dengan sipatiti dan para sikerei adalah proses pemusnahan budaya yang mereka alami dan hal ini dilakukan melalui kuasa pengetahuan dan kuasa politik dengan tujuan hendak “memajukan” peradaban orang Mentawai. Dalam hal ini, menjadi modern berarti dengan serta-merta mencampakkan tradisi leluhur. Kuasa Pengetahuan dan Kuasa Politik sejenis inilah yang ingin kami tolak, serta realitas-realitas yang mereka alami ingin kami ungkap melalui proyek kolaborasi pendokumentasian tradisi tato Mentawai.

Sumber: http://cokiliciouz.tumblr.com/post/14067340786/tato-kuasa-pengetahuan

Comments (0)

Posting Komentar